Sunday, November 6, 2011

Dunia kecil : sebuah awal #1

Akhirnya selesai juga membaca novel yang beberapa hari ini menyita waktuku. 9 summers 10 autumn. Novel pertama yang sanggup membius untuk kubaca marathon dalam beberapa hari. Dulu aku berfikir novel itu hanya sebuah cerita tanpa makna, membuang buang waktu. Aku lebih tertarik pada buku fisika dan sejenisnya. Bagiku itu jauh lebih berguna untuk meningkatkan pengetahuanku. But heii.. aku baru sadar sekarang, ternyata cerita-cerita fiksi yang tertuang di novel itu mampu membuka pikiran kita, mengenalkan kita pada dimensi lain tentang kehidupan. Terkadang ceritanya begitu menginspirasi, bahkan menumbuhkan semangat baru dalam hidup. Terbukti novel karya seorang iwan setiawan ini mampu menyuntikkan spirit baru dan menghidupkan lagi mimpi yang hampir saja mati. Ceritanya melarutkanku dalam kisah lalu. Dunia kecilku.
------
Kota kecil itu kini mulai berkembang maju. Kota dimana sebagian besar penghuninya menjadi pengrajin tenun dan batik. Beberapa mall dengan nama besar mulai berdiri tegak ditengah kota. Gedung perkantoran juga mulai menghiasi sudut sudut strategis jalan raya pantura, merubah tampilan kota yang dulu tampak sederhana. Perkembangan batik belakangan ini membawa angin perubahan kota yang membesarkanku. Kota yang menjadi saksi mimpi mimpi kecilku. Kota dengan cengkokan jawa yang khas. Kota kelahiran yang selalu membuatku ingin pulang. Pekalongan.
Hari itu terasa lebih panas dari biasanya. Ayah menyalakan skuter biru kesayangannya. Tak berapa lama beliau pergi meninggalkan aku dalam gendongan ibu. Beberapa jam berlalu, seorang tetangga tergesa-gesa menuju rumahku. Berbicara terbata bata dengan ibu. Aku tak mengerti bahasanya tapi setelah itu ibu langsung mengemasi beberapa pakaiannya. Entah beliau hendak kemana, aku ditinggalkannya bersama tiga kakak perempuanku. Puluhan orang tiba-tiba datang silih berganti memenuhi tiap sudut rumah. Hampir semuanya memakai sarung dan berpeci. Beberapa dari mereka datang menghampiriku, memandang dengan mata sayu seraya mengusap rambut dikepalaku. Entahlah apa maksudnya, aku tak tahu. Bahkan aku tak tahu siapa mereka, dari mana datangnya, untuk apa mereka ke sini, semua terasa asing bagiku. Suara bising riuh kurumunan saling bersahutan menyerukan seisi ruangan. Melantunkan doa-doa yang belum pernah kudengar sebelumnya. Di tengah-tengah mereka terbaring sosok yang perawakannya seperti ku kenal. Tubuhnya terdiam tertutup rapi selendang batik. Tak bergerak. Sementara disudut lain ibu berusaha menghapus tiap tetes air mata yang membasahi wajahnya sembari mengelus-elus perutnya yang terlihat membuncit. Kata ibu, adikku sedang tidur didalam perutnya. Begitu tiap kali dia menenangkanku saat menangis dalam gendongannya. Sesekali ibu mengajak bicara nenek yang tak henti menangis. Seribu pertanyaan menggema dalam pikiranku. Aku melihat sekeliling tapi hei..kenapa tak satupun orang yang mempedulikanku. Aku terus berteriak . Ada apa? Kenapa semua terlihat begitu pilu. Mungkin karena usia ku yang belum genap setahun membuat mereka enggan berbicara denganku. Atau mungkin bahasaku yang tak mudah dipahami. Hanya saja sejak hari itu aku tak pernah lagi melihat ayahku. Tak ada lagi sosok laki-laki yang menggendongku berkeliling desa, mengenalkanku pada tetangga. Sekarang aku tahu kenapa nenek terlihat begitu terpukul kala itu. Beliau kehilangan anak sulung yang disayanginya. Anak laki-laki yang paling dekat dengannya. Ayahku. Sosok yang senantiasa ada, tertanam di hati. Tak pernah pergi.

No comments: